Merantau

- Sabtu, 11 September 2021 | 21:30 WIB
fery Heriyanto. (istimewa)
fery Heriyanto. (istimewa)

Di teras rumah panggung tempat dia dibesarkan dulu, Amad seolah melihat lagi masa puluhan tahun silam. Kala itu dia baru kelas 2 SMA. Karena melihat banyak orang yang baru pulang dari rantau, dia tergoda dan minta izin pada emaknya untuk ikut pergi merantau bersama orang kampungnya yang akan balek ke tanah rantau.

"Mak, boleh awak ikut merantau?" ucap Amad pada emaknya yang tengah menunggui gerobak jual makanan mereka di pinggir jalan samping terminal bus.
"Mak, boleh ya..." ujarnya lagi mendesak sang ibu.
Si Emak menghela nafas.
"Mau kerja apa engkau di rantau? Apa keahlianmu? Modal untuk usaha pun tak ada. Bagusan engkau bantu mak jualan ini dulu," ucap emaknya.
"Lagian, engkau masih sekolah. Tamatkan dulu sekolah mu. Usai itu, baru engkau pikirkan langkah untuk masa depanmu," tambah emaknya lagi.
"Tapi, mak..kalau tidak sekarang awak pergi, kapan lagi, Mak? Kebetulan si Jun mau bantu awak disana," ujar Amad.
"Si Jun itu belum punya pekerjaan tetap. Seberapa lama dia akan membantu mu? Kita tak punya dunsanak di rantau sana. Sabarlah dulu. Tamatkan sekolah dulu," papar emaknya lagi.

Amad hanya terdiam. Malam itu kembali dilihatnya sejumlah anak muda tampak turun dari bus yang baru datang dari rantau. Senyum mereka begitu sumringah saat balek kampung. Mereka tampak luar biasa. Saat itu, Amad membayangkan jika dirinya yang baru turun dari bus itu. Berpakaian bagus, menyandang tas ransel, bertemu kawan-kawan saat pulang kampung, dan kembali lagi ke rantau dengan bus besar itu.*

***

Dari teras rumah kayu tersebut, Amad tak bisa melepaskan kenangan saat emaknya terpaksa mengizinkannya merantau saat itu. Padahal sebelumnya, sang emak sudah meminta dia untuk berpikir untung ruginya jika dia merantau kala itu. Namun, karena dorongan hati yang kuat ditambah melihat bagaimana "hebatnya" orang-orang yang baru pulang dari rantau, dia paksakan meninggalkan kampung halamannya. Meninggalkan bangku sekolah. Meninggalkan adik-adiknya. Dan meninggalkan emaknya yang setiap hari berjualan makanan di samping terminal.

Terbayang lagi ketika sang emak hanya bisa menghapus air matanya dan adik-adiknya melambaikan tangan saat bus yang dia tumpangi meninggalkan terminal bus.

Awal-awal di tanah rantau, Amad muda merasakan begitu luasnya negeri ini. Dia merasakan tanah yang dipijaknya saat itu jauh berbeda dengan kondisi di kampungnya. Dengan matanya, dia melihat banyak gedung-gedung tinggi, jalan-jalan yang lebar, lampu jalan berwarna warni saat malam, kendaraan-kendaraan hebat, pusat perbelanjaan yang menawarkan semua kebutuhan, tempat hiburan, dan lain sebagainya. Dia pun merasa hebat. Dia merasa seperti anak-anak muda yang dilihatnya mudik ketika dia menemani emaknya jualan di kampungnya.

Baca Juga: Foto Keluarga

Beberapa hari di rantau, Amad mulai ikut kerja yang dilakukan oleh orang kampung yang membawanya. Awal-awal dia bisa menerima kondisi kala itu. Namun, lama kelamaan, batin nya mulai tidak terima. Dia merasa diperlakukan tidak adil terutama soal gaji dengan kerja yang dilakukannya.

Dia pun mulai mencari jalan lain. Lewat orang-orang yang dikenalnya, dia mencari pekerjaan lain. Bahkan dia pun sudah pisah rumah dengan orang yang membawanya ke tanah rantau. Tidak mudah baginya di rantau untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, dia tidak patah semangat. Apapun tawaran yang diberikan, dia sanggupi. Sampai ada yang mempercayainya untuk menjalankan usaha. Berkat usaha itu, dia pun mulai bisa mengirim uang untuk emak dan adik-adiknya.

Seiring perjalanan waktu, melihat usaha yang dijalankannya berkembang, Amad memberi kabar emaknya jika dia ingin menikah.

"Mak memahami keinginanmu. Semua berpulang padamu," ucap emaknya lewat sepucuk suratnya.

***

Sekitar dua tahun lalu, di tengah situasi yang serba sulit, tiba-tiba Amad dapat kabar jika sang emak tengah mengalami penurunan kesehatan. Hampir dua bulan tidak berjualan.

Halaman:

Editor: Feri Heryanto

Tags

Terkini

Dia Ingkari Sejarah Itu

Minggu, 13 November 2022 | 08:12 WIB

Puisi-Puisi Rosy Ochy

Senin, 24 Oktober 2022 | 05:47 WIB

"Bukankah itu Namaku?"

Minggu, 23 Oktober 2022 | 18:56 WIB

Pengaruh Bahasa Orang Tua Terhadap Komunikasi Anak

Senin, 1 Agustus 2022 | 19:00 WIB

Sastra dan Perkembangan Masa Kini

Senin, 25 Juli 2022 | 19:24 WIB

Lebaran di Kepala

Selasa, 26 April 2022 | 15:44 WIB

Memperingati Hari Ibu: Quo Vadis Emansipasi

Kamis, 23 Desember 2021 | 10:09 WIB

12 Jembatan Keledai Aksi Panggung Vokalis

Minggu, 19 Desember 2021 | 06:28 WIB

Fauzi Bahar Datuak Nan Sati Pimpin LKAAM Sumbar

Sabtu, 18 Desember 2021 | 07:39 WIB

Awet

Selasa, 30 November 2021 | 14:37 WIB

Merantau

Sabtu, 11 September 2021 | 21:30 WIB

Mut

Rabu, 21 Juli 2021 | 15:03 WIB

Komitmen

Senin, 8 Februari 2021 | 09:29 WIB

Menanti Cinta dalam Ta'aruf

Kamis, 9 Juli 2020 | 16:41 WIB
X