Catatan: Didik Luhur Pambudi, Wakil Sekjen Vokalis Rock Indonesia & Pendiri Teater O USU Medan
Sebenarnya tulisan ini disarikan dari pengalaman berteater selama di Teater O Universitas Sumatra Utara (USU) Medan di kurun waktu 1990-an, saat saya masih mahasiswa.
Dalam masa itu saya mendapat penggemblengan dasar tentang teknik akting dari para senior dan terutama almarhum Buoy Hardjo (guru teater saya).
Buoy selalu mengedepankan teknik perwatakan untuk “menjadi” bukan “berperan” di atas panggung teater.
Baca Juga: Merantau
Satu buku yang paling umum dipakai dalam pelatihan teater kami adalah “12 Jembatan Keledai” karya alm WS Rendra.
Dalam perjalanan sebagai penulis lagu dan anggota Vokalis Rock Indonesia, saya menilai, pemahaman tentang akting di teater dan aksi di panggung memiliki beberapa kesamaan.
Tulisan ini pun hanya sekadar catatan saya bukan diperuntukkan bagi para musisi yang sudah malang-melintang di panggung pertunjukan, sehingga saya beri judul “12 Jembatan Keledai untuk Aksi Panggung”.
Saya menilai, teori ini tidak dibutuhkan para musisi bertalenta apalagi yang telah memiliki jam terbang tinggi.
Begitupun, jika dirasa ada baiknya, saya sungguh berterima kasih.
Pertama, pada dasarnya aksi panggung harus dilatari dengan pemahaman terhadap lirik sebab liriklah jiwa dari sebuah lagu. Nada dan aransemen hanyalah memperkuat agar lirik yang ingin disampaikan penulis lagu dapat lebih dipahami; diresapi.
Demikian pula penjiwaan terhadap lirik lagu penting dipahami para musisi, dalam hal ini Vokalis.
Kedua, lantaran lirik adalah jiwa sebuah lagu, penting bagi para Vokalis untuk memahami apa yang ingin disampaikan lagu itu. Tentang kesedihan, kegembiraan, kebahagiaan, ketakutan, kebimbangan.
Vokalis harus tahu makna sebuah lagu/lirik. Jangan sesekali sekadar hapal apalagi lupa lirik.
Ketiga, setelah memahami makna sebuah lagu maka Vokalis (juga musisi lainnya) harus membuat sebuah skenario apa tindakan/aksi yang harus dilakukan hingga penonton ikut larut ke dalam aksi mereka.