Memperingati Hari Ibu: Quo Vadis Emansipasi

- Kamis, 23 Desember 2021 | 10:09 WIB
Agustar. (istimewa)
Agustar. (istimewa)

  • Oleh: Agustar, Pengamat Sosial, Tenaga Ahli DPR RI

Hiruk-pikuk panggung politik saat ini telah menyita segenap perhatian, energi, dan pemikiran kita. Tidak terkecuali bagi kaum perempuan yang memiliki hak previlage minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif.

Namun tulisan ini tidak akan menaruh persoalan kewanitaan dalam bingkai sengitnya pergulatan politik praktis, tetapi akan lebih menyorotinya dari konteks fenomena sosio-kultural dunia kewanitaan kekinian jika dikaitkan dengan jargon emansipasi wanita yang senantiasa nyaring diteriakkan gerakan feminisme.

Barulah pada akhirnya nanti, ditarik benang merah kearah mana sebenarnya haluan politik, gugatan-gugatan politik kaum perempuan harus diarahkan.

Jika dicermati lebih jauh, meskipun perkembangan kebudayaan umat manusia sudah sampai pada tahapan post-modern, namun dunia kewanitaan masih sarat dengan dialektika yang tak kunjung tersintesa.

Baca Juga: Nasi Padang

Misalnya, mengapa ditengah-tengah gencarnya penegakan hak azasi manusia, kebebasan individu dan perlindungan privacy di abad ini, kaum perempuan masih menjadi objek eksploitasi “otoritas kultural” kaum laki-laki.

Hegemoni kaum pria telah mereduksi eksistensi kaum wanita tidak saja dari aspek persamaan hak kreatif, tetapi terlebih-lebih lagi dari sudut self-esteem (harkat dan martabat)-nya sebagai manusia. Karena, kecenderungan yang terjadi adalah menyuburnya diskriminasi dan bias opini terhadap perempuan dalam ruang publik yang menyangkut dengan keniscayaan ketaatan nilai dan kepatuhan etika di tengah komunitas masyarakat.

Sehingga konsep-konsep emansipasi yang senantiasa nyaring didengungkan gerakan feminisme, tampaknya baru sebatas pergulatan tentang gugatan persamaan hak kreatif antara kaum wanita dan pria.

Premis emansipasi belum lagi menyentuh aspek-aspek yang mengoreksi persamaan keharusan taat azas ditengah atmosfer persepsi massa, dalam tataran dan dinamika sistem kebudayaan. Oleh karena itu, idiom wanita sebagai mitra sejajar pria terasa semu, menggelantung sebatas retorika dan agitasi belaka, manakala diaktualisasikan dalam konteks self-esteem kaum perempuan itu sendiri.

Superioritas Pria

Permasalahan di atas telah melahirkan dua kutub dialektika kewanitaan pada setiap tataran rekayasa kebudayaan manusia modern yang tak teruraikan. Pertama, tersubordinasinya potensi dan kodrati kewanitaan terhadap superioritas kaum pria.

Kedua, rentannya kaum perempuan terhadap gugatan dan hujatan publik pada setiap perubahan etika dan bias perilaku feminisme. Karena dikaitkan dengan posisinya sebagai ibu (calon ibu), yang harus lebih taat moral dan sistem nilai dalam membesarkan dan mendidik anak selaku generasi masa depan.

Pada stigma inilah kaum perempuan berada dalam pasungan etika; memikul dua beban berat selaku pengasuh tunas keluarga sakinah dan sebagai bagian dari anggota masyarakat yang dituntut steril dari distorsi nilai-nilai dalam perilakunya.

Baca Juga: Emansipasi dan Pengarusutamaan Gender

Halaman:

Editor: Feri Heryanto

Tags

Terkini

Dia Ingkari Sejarah Itu

Minggu, 13 November 2022 | 08:12 WIB

Puisi-Puisi Rosy Ochy

Senin, 24 Oktober 2022 | 05:47 WIB

"Bukankah itu Namaku?"

Minggu, 23 Oktober 2022 | 18:56 WIB

Pengaruh Bahasa Orang Tua Terhadap Komunikasi Anak

Senin, 1 Agustus 2022 | 19:00 WIB

Sastra dan Perkembangan Masa Kini

Senin, 25 Juli 2022 | 19:24 WIB

Lebaran di Kepala

Selasa, 26 April 2022 | 15:44 WIB

Memperingati Hari Ibu: Quo Vadis Emansipasi

Kamis, 23 Desember 2021 | 10:09 WIB

12 Jembatan Keledai Aksi Panggung Vokalis

Minggu, 19 Desember 2021 | 06:28 WIB

Fauzi Bahar Datuak Nan Sati Pimpin LKAAM Sumbar

Sabtu, 18 Desember 2021 | 07:39 WIB

Awet

Selasa, 30 November 2021 | 14:37 WIB

Merantau

Sabtu, 11 September 2021 | 21:30 WIB

Mut

Rabu, 21 Juli 2021 | 15:03 WIB

Komitmen

Senin, 8 Februari 2021 | 09:29 WIB

Menanti Cinta dalam Ta'aruf

Kamis, 9 Juli 2020 | 16:41 WIB
X