- Oleh: Agustar, Pengamat Sosial, Tenaga Ahli DPR RI
Hiruk-pikuk panggung politik saat ini telah menyita segenap perhatian, energi, dan pemikiran kita. Tidak terkecuali bagi kaum perempuan yang memiliki hak previlage minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif.
Namun tulisan ini tidak akan menaruh persoalan kewanitaan dalam bingkai sengitnya pergulatan politik praktis, tetapi akan lebih menyorotinya dari konteks fenomena sosio-kultural dunia kewanitaan kekinian jika dikaitkan dengan jargon emansipasi wanita yang senantiasa nyaring diteriakkan gerakan feminisme.
Barulah pada akhirnya nanti, ditarik benang merah kearah mana sebenarnya haluan politik, gugatan-gugatan politik kaum perempuan harus diarahkan.
Jika dicermati lebih jauh, meskipun perkembangan kebudayaan umat manusia sudah sampai pada tahapan post-modern, namun dunia kewanitaan masih sarat dengan dialektika yang tak kunjung tersintesa.
Baca Juga: Nasi Padang
Misalnya, mengapa ditengah-tengah gencarnya penegakan hak azasi manusia, kebebasan individu dan perlindungan privacy di abad ini, kaum perempuan masih menjadi objek eksploitasi “otoritas kultural” kaum laki-laki.
Hegemoni kaum pria telah mereduksi eksistensi kaum wanita tidak saja dari aspek persamaan hak kreatif, tetapi terlebih-lebih lagi dari sudut self-esteem (harkat dan martabat)-nya sebagai manusia. Karena, kecenderungan yang terjadi adalah menyuburnya diskriminasi dan bias opini terhadap perempuan dalam ruang publik yang menyangkut dengan keniscayaan ketaatan nilai dan kepatuhan etika di tengah komunitas masyarakat.
Sehingga konsep-konsep emansipasi yang senantiasa nyaring didengungkan gerakan feminisme, tampaknya baru sebatas pergulatan tentang gugatan persamaan hak kreatif antara kaum wanita dan pria.
Premis emansipasi belum lagi menyentuh aspek-aspek yang mengoreksi persamaan keharusan taat azas ditengah atmosfer persepsi massa, dalam tataran dan dinamika sistem kebudayaan. Oleh karena itu, idiom wanita sebagai mitra sejajar pria terasa semu, menggelantung sebatas retorika dan agitasi belaka, manakala diaktualisasikan dalam konteks self-esteem kaum perempuan itu sendiri.
Superioritas Pria
Permasalahan di atas telah melahirkan dua kutub dialektika kewanitaan pada setiap tataran rekayasa kebudayaan manusia modern yang tak teruraikan. Pertama, tersubordinasinya potensi dan kodrati kewanitaan terhadap superioritas kaum pria.
Kedua, rentannya kaum perempuan terhadap gugatan dan hujatan publik pada setiap perubahan etika dan bias perilaku feminisme. Karena dikaitkan dengan posisinya sebagai ibu (calon ibu), yang harus lebih taat moral dan sistem nilai dalam membesarkan dan mendidik anak selaku generasi masa depan.
Pada stigma inilah kaum perempuan berada dalam pasungan etika; memikul dua beban berat selaku pengasuh tunas keluarga sakinah dan sebagai bagian dari anggota masyarakat yang dituntut steril dari distorsi nilai-nilai dalam perilakunya.
Baca Juga: Emansipasi dan Pengarusutamaan Gender