Superioritas Pria
Permasalahan di atas telah melahirkan dua kutub dialektika kewanitaan pada setiap tataran rekayasa kebudayaan manusia modern yang tak teruraikan. Pertama, tersubordinasinya potensi dan kodrati kewanitaan terhadap superioritas kaum pria.
Kedua, rentannya kaum perempuan terhadap gugatan dan hujatan publik pada setiap perubahan etika dan bias perilaku feminisme. Karena dikaitkan dengan posisinya sebagai ibu (calon ibu), yang harus lebih taat moral dan sistem nilai dalam membesarkan dan mendidik anak selaku generasi masa depan.
Pada stigma inilah kaum perempuan berada dalam pasungan etika; memikul dua beban berat selaku pengasuh tunas keluarga sakinah dan sebagai bagian dari anggota masyarakat yang dituntut steril dari distorsi nilai-nilai dalam perilakunya.
Baca Juga: Emansipasi dan Pengarusutamaan Gender
Padahal, wanita selalu dianggap sebagai kaum lemah. Menurut hemat penulis, hal ini merupakan akibat pengkondisian kultural dari kemasyarakatan patrimonial. Akibatnya, ruang gerak kebudayaan kaum wanita menjadi begitu sempit dan reduktif. Dengan kecenderungan anggapan semacam ini, kita telah melakukan ketidakadilan sosiologis dengan memandang wanita hanya sebagai wanita, tidak wanita sebagi manusia.
Perlakuan yang diskriminatif ini, tampaknya merupakan bagian dari rekayasa kebudayaan manusia itu sendiri dengan tendensi “status quois” superioritas pria terhadap kaum perempuan.
Maka, pandangan-pandangan baku seperti “otoritas tertinggi dalam rumah tangga dipegang oleh sang suami”, atau “isteri wajib mematuhi suami”, dari sudut pandang demokratisasi, persamaan hak kreatif, ekspresi potensi individu dan kapasitas profesionalisme personal perlu dipertanyakan kembali.
Apalagi jika ungkapan tersebut ditinjau dari kebenaran sistem nilai yang berlaku secara universal. Karena penulis mengkhawatirkan, jika dalam praktik budaya rumah tangga, ungkapan tersebut dieksploitasi untuk melegitimasi otoritas buta kaum laki-laki yang “memenjarakan wanita dalam keharusan patuh” yang sama butanya pula. Pada kondisi seperti ini kaum perempuan tersubordinasi dan dipasung secara sesat dan menyesatkan di bawa bayang-bayang superioritas gender kaum laki-laki.
Namun, demikianlah realitas dinamika kebudayaan modern kita. Idiom “patuh dan setia” telah dianggap sebagai “brand image” wanita sempurna dan paripurna. Karena seolah-olah di sanalah letak harkat dan martabat kewanitaan seseorang.