Cerpen: Fery Heriyanto
Keluarga besar kami tiba-tiba geger. Berita yang selama ini mungkin tidak akan pernah terpikirkan lagi, tiba-tiba datang.
"Abang menikah!."
"Menikah?!"
Aku benar-benar terkejut. Antara percaya dan tidak.
"Ya, Abangmu akan menikah akhir pekan ini! Kamu harus pulang!"
Sebuah informasi yang dalam pemikiranku nyaris tidak akan pernah aku dengar lagi. Namun faktanya, pagi ini, aku mendapat berita yang membuat tanda tanya besar dalam benak kepala.
"Dengan siapa Abang menikah? Wanita mana yang beruntung mendapatkannya? Kenapa baru sekarang berita ini aku terima? Kenapa tidak lima, sepuluh, atau lima belas tahun lalu? Kenapa?"
Itulah sejumlah pertanyaan yang menari dalam kepalaku.
"Ya, sudah, aku akan pulang saat hari bahagianya itu," ucapku dalam hati tanpa berpikir negatif atas berita yang menurut teman-temanku, itu adalah berita baik. Memang sebuah berita baik. Tapi, kenapa baru sekarang aku terima.
Masih terbayang dalam pikiran ini, bagaimana sebelumnya keluarga besar kami "menyodorkan" banyak wanita kepada Abang. Mulai dari karyawan swasta, PNS, perawat, guru, dosen, dokter, apoteker, mahasiswa semester akhir, dan banyak lagi. Namun, seluruhnya ditanggapinya dengan diam. Bahkan sampai keluarga besar kami bertanya, "Wanita mana yang menjadi pilihanmu, bawa dia kemari, kami akan ACC."
Tapi, kembali, Abang menanggapinya dengan dingin. Dia seolah tak peduli dengan kerisauan yang terjadi dalam keluarga besar kami.
Aku tak tahu persis, kenapa Abang yang selalu menjadi perhatian keluarga kami. Kalau dilihat secara kasat mata, dia hanya lelaki biasa, wajahnya bisa dikatakan tidak terlalu ganteng, postur tubuhnya sedang, dan kalau dilihat secara umum, tidak ada yang istimewa. Bedanya dengan kami, Abang punya usaha sendiri. Dia tidak pernah membuat kami rumit. Bahkan malah sebaliknya, kami yang kadang sering membuatnya repot. Tapi itulah, Abang cukup istimewa dalam keluarga besar kami.
Tepat pada hari pernikahannya, aku sampai di rumah. Seluruh keluarga telah berkumpul. Semua hadir. Aku lihat Abang tengah duduk di ruang tengah. Dia tersenyum ketika melihat aku datang. Aku langsung menyalaminya. Tidak banyak kata yang diucapkannya.
"Bagaimana kabarmu? Sehatkan?" Aku menjawabnya dengan anggukan dan senyuman.
Tak berapa lama kemudian, calon istrinya dan keluarga besarnya pun tiba. Masing-masing mengambil posisi duduknya. Hanya hitungan menit, penghulu pun datang. Tanpa banyak mukadimah, akad nikah pun dilangsungkan. Abang tampak tenang. Bahkan saat ijab kabul, dia lancar mengucapkannya. Semua berucap syukur, terlebih keluarga besar kami.
Usai nikah, saat menyantap hidangan, aku hampiri dia.
"Bang, kenapa baru sekarang Abang melangsungkan acara baik ini?" tanyaku di sela-sela makan.
"Aku telah mendapatkan seorang 'Peri'," jawabnya.
"Apa? Peri?" tanyaku penuh keheranan.
"Ya, kakak iparmu itu telah menjelma jadi Peri. Dia telah mampu merayuku. Dia telah meluluhkan hatiku. Dia telah bisa memahamiku. Dalam dirinya ada aku. Begitu juga sebaliknya, dia ada dalam diriku. Dia adalah Peri yang baik hati. Tidak hanya itu, dia juga cantik. Dialah jodoh yang selama ini aku cari," jawab Abang tersenyum sambil melirik pada istrinya yang usianya hanya beda dua bulan.***
Batuampar, 2010
Fery Heriyanto, alumni Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dan mantan anggota Teater O USU Medan. Sekarang tercatat sebagai jurnalis di Kepri.***