Cerpen: Fery Heriyanto
Suatu hari, Ilman, bertemu dengan seorang mantan stafnya, Ninda. Kondisi perempuan muda itu cukup memprihatinkan. Tubuhnya terlihat kurus, wajahnya menggambarkan beban yang cukup berat. Jauh berbeda saat dia masih berada dalam satu kantor dahulu. Sedihnya lagi, dia tengah hamil enam bulan.
Kepada lelaki itu, Ninda minta tolong. Dia mengaku sangat kesusahan. Dia tidak lagi bekerja. Ninda pun mengatakan jika dia dengan suaminya diambang perceraian.
Perempuan itu mengungkapkan jika suaminya tidak lagi menunjukan tanggung jawab. Tidak memberinya nafkah. Menelantarkannya. Dan kini dia juga diminta untuk segera keluar dari rumah kontrakannya karena telah menunggak tiga bulan.
Kepada lelaki itu, perempuan muda tersebut memohon untuk dibantu. Minimal untuk biaya hidupnya saat itu.
Ilman seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya kala itu. Dahulu, saat perempuan tersebut masih menjadi stafnya, dia begitu energik, bersemangat, dan bekerja sangat baik, serta mampu menyelesaikan seluruh pekerjaan dengan cepat. Pokoknya, perempuan itu termasuk salah satu karyawan yang cukup diandalkan dalam pekerjaan teknis.
Dia selalu siap mengerjakan tugas walau dalam kondisi mendesak. Bahkan, jika ada tugas luar kota, dia juga selalu siap.
Namun, kini yang dilihatnya sangat jauh dari fakta ketika mereka masih satu kantor dahulu. Sekilas terlihat jika perempuan itu juga mengalami tekanan psikologis.
"Saya tak tahu lagi bicara dengan siapa, Pak," ucapnya dengan suara bergetar.
"Saat saya lihat-lihat nomor handphone, ternyata nomor handphone bapak masih ada. Saya beranikan menghubungi bapak. Mohon bantu saya. Setelah melahirkan nanti, saya akan coba mencari kerja lagi," ucapnya dengan wajah sedih.
Setelah berbincang dan mendapatkan banyak informasi tentang kondisi perempuan itu, Ilman menawarkan mengantarkannya pulang.
Di depan rumah kontrakannya, sekilas dia melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Dari pintu depan, dia dapat melihat barang-barang kecil berserakan di lantai. Ada sejumlah baju yang tergeletak di sudut dekat dapur. Di meja plastik tampak ada sisa makanan. Dan teh yang mungkin dibuatnya pagi sebelum keluar rumah, sudah dikerumuni semut.
"Masuklah, Pak, maaf berantakan," ujarnya.
Namun, lelaki itu menolak halus untuk masuk rumah. Setelah sedikit basa basi, dia mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya dan memberikan pada perempuan itu.
Artikel Terkait
Foto Keluarga
Peri
Pak Tricky
Nasi Padang
Si Karengkang
Rindu Rumah Ibu
Puisi yang Disempurnakan
Talbiyah Mak Ijah
Mut
Merantau
Lebaran di Kepala