"Bukankah itu Namaku?"

- Minggu, 23 Oktober 2022 | 18:56 WIB
Fery Heriyanto (istimewa)
Fery Heriyanto (istimewa)

Cerpen: Fery Heriyanto

Suatu hari, Ilman, bertemu dengan seorang mantan stafnya, Ninda. Kondisi perempuan muda itu cukup memprihatinkan. Tubuhnya terlihat kurus, wajahnya menggambarkan beban yang cukup berat. Jauh berbeda saat dia masih berada dalam satu kantor dahulu. Sedihnya lagi, dia tengah hamil enam bulan.

Kepada lelaki itu, Ninda minta tolong. Dia mengaku sangat kesusahan. Dia tidak lagi bekerja. Ninda pun mengatakan jika dia dengan suaminya diambang perceraian.

Perempuan itu mengungkapkan jika suaminya tidak lagi menunjukan tanggung jawab. Tidak memberinya nafkah. Menelantarkannya. Dan kini dia juga diminta untuk segera keluar dari rumah kontrakannya karena telah menunggak tiga bulan.

Kepada lelaki itu, perempuan muda tersebut memohon untuk dibantu. Minimal untuk biaya hidupnya saat itu.

Ilman seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya kala itu. Dahulu, saat perempuan tersebut masih menjadi stafnya, dia begitu energik, bersemangat, dan bekerja sangat baik, serta mampu menyelesaikan seluruh pekerjaan dengan cepat. Pokoknya, perempuan itu termasuk salah satu karyawan yang cukup diandalkan dalam pekerjaan teknis.

Dia selalu siap mengerjakan tugas walau dalam kondisi mendesak. Bahkan, jika ada tugas luar kota, dia juga selalu siap.

Namun, kini yang dilihatnya sangat jauh dari fakta ketika mereka masih satu kantor dahulu. Sekilas terlihat jika perempuan itu juga mengalami tekanan psikologis.

"Saya tak tahu lagi bicara dengan siapa, Pak," ucapnya dengan suara bergetar.

"Saat saya lihat-lihat nomor handphone, ternyata nomor handphone bapak masih ada. Saya beranikan menghubungi bapak. Mohon bantu saya. Setelah melahirkan nanti, saya akan coba mencari kerja lagi," ucapnya dengan wajah sedih.

Setelah berbincang dan mendapatkan banyak informasi tentang kondisi perempuan itu, Ilman menawarkan mengantarkannya pulang.

Di depan rumah kontrakannya, sekilas dia melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Dari pintu depan, dia dapat melihat barang-barang kecil berserakan di lantai. Ada sejumlah baju yang tergeletak di sudut dekat dapur. Di meja plastik tampak ada sisa makanan. Dan teh yang mungkin dibuatnya pagi sebelum keluar rumah, sudah dikerumuni semut.

"Masuklah, Pak, maaf berantakan," ujarnya.

Namun, lelaki itu menolak halus untuk masuk rumah. Setelah sedikit basa basi, dia mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya dan memberikan pada perempuan itu.

Halaman:

Editor: Feri Heryanto

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Dia Ingkari Sejarah Itu

Minggu, 13 November 2022 | 08:12 WIB

Puisi-Puisi Rosy Ochy

Senin, 24 Oktober 2022 | 05:47 WIB

"Bukankah itu Namaku?"

Minggu, 23 Oktober 2022 | 18:56 WIB

Pengaruh Bahasa Orang Tua Terhadap Komunikasi Anak

Senin, 1 Agustus 2022 | 19:00 WIB

Sastra dan Perkembangan Masa Kini

Senin, 25 Juli 2022 | 19:24 WIB

Lebaran di Kepala

Selasa, 26 April 2022 | 15:44 WIB

Memperingati Hari Ibu: Quo Vadis Emansipasi

Kamis, 23 Desember 2021 | 10:09 WIB

12 Jembatan Keledai Aksi Panggung Vokalis

Minggu, 19 Desember 2021 | 06:28 WIB

Fauzi Bahar Datuak Nan Sati Pimpin LKAAM Sumbar

Sabtu, 18 Desember 2021 | 07:39 WIB

Awet

Selasa, 30 November 2021 | 14:37 WIB

Merantau

Sabtu, 11 September 2021 | 21:30 WIB

Mut

Rabu, 21 Juli 2021 | 15:03 WIB

Komitmen

Senin, 8 Februari 2021 | 09:29 WIB

Menanti Cinta dalam Ta'aruf

Kamis, 9 Juli 2020 | 16:41 WIB
X