Oleh: H. Muhammad Nasir. S.Ag., M.H., Kakan Kemenag Lingga
Apabila datang bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan-setan diikat (dibelenggu).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh rahmat. Bulan munajat pengampun dosa yang di dalamnya terbuka pintu-pintu kebaikan yang banyak dan tertutup pintu-pintu kejahatan dan maksiat. Itulah keyakinan yang tertanam dalam hati orang-orang beriman sebagai makna hadits Rasulullah saw yang kita kemukakan diatas.
Dalam hadits tersebut pintu neraka dan syaitan memiliki dua makna yaitu makna hakikiyah dan maknawiyah. Secara hakikiyah para ulama sepakat bahwa pintu neraka dan syaitan betul-betul ditutup dan diikat Allah karena kasih sayang Allah SWT kepada hambanya yang beriman.
Sementara dalam arti maknawiyah pintu neraka adalah bahwa Allah SWT menutup pintu kejahatan manusia. Artinya dalam bulan ramadhan terdapat kesadaran bagi orang beriman untuk benar-benar menunjukkan keyakinannya bahwa kasih sayang Allah dicurahkan di bulan Ramadhan, sehingga pintu kejahatan yang biasa dilakukan di luar ramadhan dihentikan sejenak untuk kemudian melakukan tafakur , tasyakkur dan ta’abbud dengan kesadaran yang tinggi.
Saat ini kita sedang berada dalam kampung globalisasi. Perubahan zaman akibat globalisasi tehnologi telah mengantarkan manusia kepada kehidupan serba instan, mudah dan cepat. Perubahan yang terjadi merambat pula masuk ke dalam ranah nilai-nilai kemanusiaan sehingga manusia seakan-akan kehilangan makna kehidupan.
Sebagai bukti nyata, banyak diantara manusia banyak yang mengikuti arus perubahan tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan ditambah lagi dengan dorongan dan godaan nafsu yang semakin menggila. Cinta dunia, cinta harta dan tahta serta popularitas adalah salah satu bentuk dan ciri kepribadian yang tumbuh dan berkembang. Akibatnya tanpa disadari mereka (orang-orang modern) dikendalikan oleh nafsu serakah yang tak tak pernah puas.
Kondisi ini diperparah lagi oleh sikap hidup yang serba bebas tanpa batas, sampai-sampai identitas kemanusiaan sebagai makhuk ruhaniyah mulai buram dan bahkan hilang ditelan zaman.
Rayuan media sosial menawarkan seperangkat gaya hidup mewah, konsumtif dan bebas, sulit dibendung. Orang-orang yang belum siap menghadapi topan globalisasi, akan terpelanting dalam jati diri yang serba ganda dan pura-pura. Mereka ditimpa oleh berbagai penyakit psikhis seperti kebingungan, kesendirian, neurosis, susah tidur, perasaan frustasi, serta mental apatis yang membuat kelihatan orang bahagia secara materi, tetapi compang-camping secara ruhani.
Nilai-nilai moral menjadi longgar, kesucian seksual telah menjadi pelecehan sehari-hari, nilai kebangsaan mengendur, solidaritas sosial hanya menjadi motto dan pemanis retorika belaka. Korupsi, pemerasan dan ketidak adilan mewarnai pola kehidupan manusia yang telah terkikis moral keagamaannya. Hidup tidak lebih kekinian (dahriyah, sekuler). Mereka tidak lagi diilhami oleh sebuah keyakinan akan kehidupan akhirat, karena hal itu dianggapnya sebagai suatu pola pemikiran yang kolot.
Pusaran arus modernisasi global terus bergulir. Disadari bahwa globalisasi membawa ancaman yang tidak ringan. Kehidupan global yang dibanggakan menjadi model kehidupan baru yang memiliki ciri tertentu yang sulit diduga. Ia ditandai dengan “maturitas” kebutuhan material dan ajang perkelahian kepentingan manusia. Kehidupan selalu diukur dengan kesuksesan duniawi, sehingga gaya hidup yang dilakoni bertentangan dengan prinsip-prinsip akhlak dan moralitas.
Modernisasi menggambarkan pula kemajuan tehnologi, pesatnya industri- komunikasi, individualisasi, sekularisasi, diferensiasi kultural dan semakin tersentralisasinya dunia kepada kepentingan dominasi informasi. Walaupun banyak memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia, modernisasi telah menyuburkan kegersangan batin dan kehausan ruhaniyah manusia.
Kondisi ini dilatari oleh peremehan sipiritualitas yang memisahkan spirit iman dalam kehidupan manusia, sehingga menjauhkan manusia dari hakikat dirinya. Ketika manusia semakin jauh dari hakikat dirinya maka disitulah kegersangan jiwa kemanusiaan hancur dan tak berdaya melawan hawa nafsu.
Dalam pandangan Islam, manusia merupakan makhluk Allah SWT yang dikarunia dua potensi diri sekaligus, yaitu potensi ruh dan potensi nafsu ( Qs. As-Syam : 8 ). “fa-almaha fujuroha wattaqaha”( maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya)
Potensi pertama adalah potensi ruhaniyah yang menjadikan manusia senantiasa bersikap hanief/lurus. Dengan potensi ini manusia adalah makhluk suci. Jika potensi ini dikembangkan melalui pembinaan spiritual ( puasa ramadhan ) manusia akan sampai kepada kualitas individu sebagai abdullah atau hamba Allah.
Artikel Terkait
Hadiri Tarhib di MTs Negeri Bintan, Kakan Kemenag Bintan: Tingkatkan Kualitas Ibadah
Kepala BP Batam Ajak FKPD Kota Batam Bersinergi Wujudkan Batam Kota Baru
Sambut Ramadan, Kepala BP Batam Ajak Masyarakat Tingkatkan Keimanan
BP Batam Pastikan Pengembangan Pelabuhan Batu Ampar Berlanjut
Doa Menyambut Ramadhan