Oleh: H. Muhammad Nasir. S.Ag.MH, Kakan Kemenag Lingga
Suatu ketika di zaman kekhalifahan Islam, perkebunan terong seseorang dimonopoli oleh seorang pedagang kelas kakap. Celakanya, sesudah musim panen, dan buah terong yang subur itu selesai di panen, harganya jatuh ke titik terendah.
Rupanya masyarakat menganggap terong tidak bermanfaat bagi kesehatan, bahkan membahayakan kejantanan kaum pria. Sudah terbayang berapa besar kerugian yang bakal ditanggung pedagang itu.
Tetapi berkat naluri usahanya yang tajam dan tak mengenal batas halal-haram, pedagang tersebut tak kehabisan siasat. Ia membujuk sejumlah cendekiawan untuk memberikan garansi intelektual terhadap kegunaan buah terong, sehingga menaikkan kembali citra buah terong sehingga mengatrol harga dan peminatnya.
Para cendekiawan yang berhasil dibujuk itu, lalu memberikan argument berupa hadits karangan sendiri. Bunyinya ; “Albaddzinjanu syifa-u kulli syai-in”, buah terong itu obat segala penyakit. Maka berbondong-bondonglah khalayak berebut memborong buah terong. Itulah yang disebut cendekiawan kanuz, yaitu orang berilmu yang rela menjual agama untuk kepentingan harta.
Mereka lebih takut menderita di dunia ketimbang dijebloskan di neraka.
Cendekiawan demikian oleh Nabi saw, dijuluki ‘ Yabi’u aqwamun dinahum bi’aruddlin minaddunya, kaum yang rela menjual agama mereka dengan sepotong kekayaan dunia.
Begitulah di zaman nabi Muhammad saw, para cendekiawan menjual kesesatan melalui orgumentasi yang menyesatkan. Mereka telah berbuat kesesatan dan menyesatkan. Mereka memang tidak berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi tetapi mereka adalah lokomotif kesesatan yang akan merugikan banyak orang. Melalui pendapat dan argumentasi yang indah dan meyakinkan mereka menggiring orang banyak kedalam kesesatan.
Pendapat dan argumentasi mereka dipercayai karena mereka adalah orang yang dianggap berilmu pengetahuan dalam masyarakat. Selain itu ada juga cendekiawan yang tergila-gila pada pangkat dan kedudukan.
Kelompok cendekiawan ini oleh Nabi SAW sebagaimana disetir dalam kitab Nasha-ihul Ibad, apabila menghadap penguasa di istana, mereka lebih suka mengharapkan kedudukan dari pada menyampaikan kebenaran, sehingga pulang-pulang jubah kebesaran mereka sudah melilit di kepala, sebagai tanda memperoleh kedudukan mulia di sisi penguasa.
Cendekiawan seperti ini sudah bisa diduga prinsip hidupnya. Kecendekiaannya cuma dihargai dengan segepok dirham, lantaran integritas moral dan intelektualnya sudah tergadai oleh pesona harta dan kedudukan.
Dalam salah satu cuplikan sejarah, Ghiyats Ibnu Ibrahim yang hidup di zaman khalifah Al-Mahdi adalah seorang cendekiawan yang sangat pandai dan jenius masuk ke istana kahlifah.
Di Balairung istana, ia memergoki Al-Mahdi sedang mengadu burung merpati. Al-Mahdi terkejut, Ghiyats jauh lebih terkejut. Ia lalu ketakutan kalau-kalau sang raja marah dan ia dipecat. Dasar otaknya cerdas, serta merta dia mengembangkan argument alternative yang diambil dari hadits, La sabaqa fi illa fabilin, aw bafirin, aw janabin- Tidak halal mengadakan perlombaan kecuali adu melepas panah, adu naik kuda, dan adu merpati.
Padahal aslinya, Nabi SAW, tidak menyertakan adu burung merpati. Toh, penambahan kalimat baru itu membuat Al-Mahdi tertawa lepas, seraya melemparkan pundi-pundi kulit berisi segepok uang dirham.
Alangkah malangnya orang seperti Ghiyats Ibnu Ibrahim karena menurut Rasulullah SAW mereka tidak pantas menyandang gelar cendekiawan karena mereka hanya berilmu tetapi tidak bermoral. Imannya rapuh bila melihat harta. Tidak takut dosa walaupun sering ceroboh.
Padahal. Cendekiawan memperoleh tempat tinggi di mata Tuhan seperti tercantum dalam surat Al-Fathir 28 : yang artinya : Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.( Qs.al-Fathir 28 ).
Artikel Terkait
Yok, Baca Al-Qur'an Setiap Hari, Penuh Keberkahan
Yok, Lakukan Kebiasaan Ini Meski Ramadhan Telah Berakhir
Ulama Turki Ungkap Bahaya Memendam Permusuhan
Berikut Panduan Sholat Dhuha dan Keutamaannya, Lebih dari Sekadar Membuka Pintu Rezeki
Lagi Membaca AlQur'an Lalu Azan Berkumandang, Apa Sikap Kita?
Berikut Tingkatan Syukur Menurut Imam Al-Ghazali